DIKSI.CO - Ketegangan antara Israel dan Iran memasuki babak baru setelah kedua negara terlibat dalam serangan militer saling balas pada Sabtu malam, 14 Juni 2025.
Serangan ini memicu kekhawatiran besar akan pecahnya perang skala besar di kawasan Timur Tengah, dengan dampak yang berpotensi mengguncang stabilitas ekonomi global.
Israel memperluas serangan militernya dengan menyasar fasilitas energi utama Iran, yakni ladang gas South Pars, yang terletak di provinsi Bushehr.
Serangan ini menyebabkan kebakaran besar yang menghentikan sebagian besar produksi gas di salah satu ladang gas terbesar di dunia tersebut.
Meskipun harga minyak global sempat melonjak 9% pada hari Jumat (13/6) akibat kekhawatiran gangguan pasokan, Israel belum menyentuh sektor minyak dan gas Iran secara langsung.
Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, menegaskan bahwa serangan ini merupakan bagian dari strategi untuk menggagalkan program nuklir Iran yang dianggap sebagai ancaman langsung bagi keamanan Israel.
"Kami akan terus melakukan serangan ini hingga Iran tidak lagi menjadi ancaman," ujarnya dalam pidatonya pada Sabtu malam.
Sebagai balasan, Iran meluncurkan rudal dan drone ke arah Israel.
Salah satu proyektil menghantam rumah dua lantai di Haifa, Israel utara, menewaskan seorang wanita berusia 20-an dan melukai 13 orang lainnya.
Sementara itu, militer Israel melaporkan bahwa mereka berhasil mencegat sebagian serangan Iran dengan sistem pertahanan udara Iron Dome.
Dinas Ambulans Israel mengonfirmasi kematian warga sipil dalam serangan tersebut, sementara televisi pemerintah Iran melaporkan bahwa beberapa fasilitas militer di Israel turut menjadi sasaran serangan balasan mereka.
Ketegangan semakin meningkat setelah Esmail Kosari, seorang jenderal senior Iran, menyatakan bahwa pemerintah Iran sedang mempertimbangkan opsi untuk menutup Selat Hormuz sebagai bentuk respons terhadap serangan Israel.
Selat ini merupakan jalur pengiriman minyak utama yang vital bagi pasar energi global.
Penutupan atau gangguan terhadap jalur ini akan memicu ketidakstabilan ekonomi yang lebih besar di seluruh dunia.
Di tengah ketegangan yang semakin memanas, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyerukan agar Iran menurunkan level program nuklirnya dan membuka peluang bagi solusi diplomatik.
Trump mengingatkan bahwa serangan lebih besar terhadap Iran bisa berisiko melibatkan negara-negara lain, bahkan berpotensi memperburuk perang terbuka.
Namun, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, menanggapi dengan tegas, mengatakan bahwa pembicaraan lebih lanjut tidak mungkin dilakukan selama serangan Israel terus berlangsung.
"Kami tidak akan berunding sementara Israel terus melakukan serangan barbar terhadap kami," ujarnya dalam pernyataan resmi pada Minggu.
Jumlah korban tewas di kedua belah pihak terus meningkat.
Di Iran, lebih dari 78 orang tewas dalam serangan hari pertama Israel, termasuk 29 anak-anak yang tewas dalam serangan udara Israel yang menghancurkan apartemen di Teheran.
Iran juga melaporkan tiga orang tewas akibat serangan balasan mereka ke wilayah Israel.
Sementara itu, Organisasi HAM Israel, B'Tselem, mengkritik kebijakan agresif pemerintah Israel, menyebut langkah militer ini mempertaruhkan nyawa warga sipil di seluruh kawasan Timur Tengah.
“Alih-alih mencari solusi diplomatik, Israel memilih jalan perang yang bisa menghancurkan seluruh kawasan,” tegas organisasi tersebut.
Saat ini, dunia menanti apakah kedua negara akan memilih jalur diplomasi atau terjebak dalam spiral eskalasi militer yang lebih luas.
Negara-negara besar di kawasan seperti Arab Saudi, Turki, dan Mesir juga memantau dengan seksama perkembangan situasi ini, khawatir akan meluasnya konflik ini ke negara-negara tetangga.
Dengan pembatalannya perundingan nuklir AS-Iran yang semula dijadwalkan di Oman, dan dengan pernyataan keras kedua belah pihak, masa depan kawasan Timur Tengah tampak semakin tidak pasti.
Dunia kini berada di persimpangan, di mana ketegangan yang ada berpotensi memicu perang besar atau mungkin membuka jalan bagi perundingan internasional yang bisa meredakan krisis ini. (*)