DIKSI.CO – Sorotan terhadap hubungan erat antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan kekuasaan politik kembali mengemuka.
Di tengah maraknya kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam yang kian mengkhawatirkan, PBNU dinilai kehilangan daya kritisnya terhadap pemerintah.
Pertanyaan pun menyeruak: apakah pemerintah terlalu cerdas dalam merangkul PBNU, atau PBNU yang takut kehilangan akses terhadap kekuasaan.
Kritik ini disampaikan dalam sebuah rilis opini yang menyinggung absennya suara tegas PBNU dalam isu lingkungan hidup, terutama dalam konteks tambang nikel di Papua dan Maluku yang terus meluas tanpa kajian ekologis yang memadai.
Penulis mencatat bahwa suara-suara keagamaan yang dulu lantang menyerukan "taubat ekologi" kini nyaris hilang dari khotbah dan wacana publik NU.
“NU harus tetap kritis terhadap pemerintah, jika pemerintah mengabaikan keadilan dan kerusakan lingkungan,” kutipan Gus Dur dalam sebuah seminar kembali diangkat untuk menunjukkan pentingnya posisi independen ormas Islam terbesar di Indonesia itu.
Fakta di lapangan menunjukkan ironi. Beberapa tokoh PBNU kini diketahui duduk di kursi komisaris perusahaan tambang, menimbulkan pertanyaan serius mengenai konflik kepentingan dan integritas moral.
Suara kritis dari kader PKB—partai yang lahir dari rahim NU—bahkan mendapat kecaman dari internal NU sendiri, seolah menunjukkan pergeseran orientasi lembaga dari moralitas ke pragmatisme politik.
“Fenomena ini mengindikasikan bahwa penguasa hari ini cukup cerdas memainkan kartu politik keagamaan dengan membenturkan sesama warga Nahdliyin,” tulis Mahrus Ali, mantan Ketua LAKPESDAM PCNU Lamongan, dalam pers rilisnya, Sabtu (14/6/2025).
Menurutnya, kompromi PBNU dalam isu lingkungan tidak hanya melemahkan posisi lembaga sebagai penjaga moral publik, tetapi juga membiarkan bencana ekologis berkembang tanpa perlawanan berarti dari institusi keagamaan.
Dampaknya nyata kerusakan alam, hilangnya tanah adat, serta pencemaran sungai dan laut, terjadi tanpa adanya fatwa atau sikap tegas dari PBNU.
Kritik ini bukan tanpa solusi. Penulis menyerukan perlunya refleksi kolektif atas peran institusi keagamaan di tengah krisis iklim dan ketidakadilan ekologis.
“Jika ‘taubat ekologis’ dikubur bersama idealisme yang tergadai, maka sejarah tak hanya mencatat kerusakan alam, tapi juga keruntuhan nurani umat,” tulisnya menutup esai tersebut. Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari PBNU terkait kritik tersebut.
(tim redaksi)