IMG-LOGO
Home Hukum-kriminal Usai Divonis Bebas Mahkamah Agung, Mantan Anggota DPRD Kaltim Merasa Dikriminalisasi dan Minta Pemulihan Nama Baik
hukum-kriminal | Umum

Usai Divonis Bebas Mahkamah Agung, Mantan Anggota DPRD Kaltim Merasa Dikriminalisasi dan Minta Pemulihan Nama Baik

oleh Alamin - 08 Juli 2025 19:20 WITA
IMG
James Bastian Tuwo mantan anggota dewan dan seorang advokat yang mendapat vonis bebas dari MA atas kasus dugaan UU ITE pada 2024 lalu/ist

DIKSI.CO, SAMARINDA - Mantan anggota DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), James Bastian Tuwo mendapat vonis bebas dari Mahkamah Agung usai hampir setahun menanti kejelasan hukum.


Adapun kasus yang menjeratnya, yakni dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada Oktober 2024 lalu.


Dijelaskan James Tuwo yang mendapat kebebasannya pada Kamis, 3 Juli 2025 kemarin, kalau vonis bebas dari MA menjadi bukti adanya upaya kriminalisasi yang menjerat dirinya pada 2024 lalu.


“Saya merasa dikriminalisasi. Dari awal saya tidak pernah merasa melakukan pelanggaran hukum, dan Mahkamah Agung akhirnya menyatakan saya tidak terbukti,” ujarnya saat menggelar konferensi pers di Cafe Nyah Besar, Jalan Ahmad Yani, Samarinda, Selasa (8/7/2025).


Dirincikan James Tuwo, dalam amar putusan kasasi yang dibacakan pada 27 Mei 2025, majelis hakim Mahkamah Agung menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum.


Putusan MA Nomor: 5800 K/Pid.Sus/2025 tertanggal 27 Mei 2025 itu sekaligus membatalkan dua putusan kasasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Kaltim di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda Nomor: 907/Pid.Sus/2024/PN Smr tertanggal 9 Januari 2025 dan Pengadilan Tinggi (PT) Smr Nomor: 35/PID.SUS/PT SMR tertanggal 3 Maret 2025 yang sebelumnya memutuskan hukuman penjara selama 13 bulan kepada James.


MA juga memerintahkan agar terdakwa dibebaskan serta dipulihkan hak-haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat martabatnya.


"Saya ditahanan mengalami kerugian yang banyak. Saat ini saya mengutarakan isi hati bahwa kriminalisasi ini jangan sampai terulang kepada yang lain," kata James.


Ia juga mengkritik proses hukum yang dijalani, mulai dari penyidikan hingga penuntutan, yang menurutnya tidak dijalankan secara profesional.


Sebab da proses banding sebelumnya, terdapat satu hakim yang menyampaikan dissenting opinion, pandangan berbeda yang menilai perkara tersebut lebih tepat dikategorikan sebagai maladministrasi, bukan pidana.


Namun jaksa tetap melanjutkan, yang akhirnya dimentahkan oleh Mahkamah Agung.


Putusan MA juga memerintahkan pengembalian sejumlah barang bukti kepada terdakwa, termasuk dokumen hukum, perangkat elektronik, akun media sosial, hingga surat-menyurat yang berkaitan dengan perkara.


Terkait langkah selanjutnya, terdakwa menyebut tengah berkonsultasi dengan kuasa hukumnya.


Ia membuka peluang untuk menempuh jalur hukum lanjutan guna menuntut ganti rugi atas kerugian materiil dan imateriil selama penahanan.


“Saya tidak ingin orang lain mengalami hal yang sama. Saya advokat, saya tahu hukum, tapi tetap bisa jadi korban kriminalisasi. Semoga saya yang terakhir,” pungkasnya.


Untuk diketahui, James Bastian Tuwo menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, Kamis (31/10/2024) atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).


Ia didakwa melanggar Pasal 48 ayat 1 jo Pasal 32 ayat 1 UU ITE yang telah diubah melalui UU RI Nomor 1 Tahun 2024.


James hadir didampingi oleh 20 pengacara yang akan membelanya dalam persidangan ini.


Kasus yang menyeret James bermula ketika ia bersama seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) bernama Olan, yang bekerja di Rutan Kelas IA Sempaja, dilaporkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Bareskrim Polri.


Setelah penyelidikan, keduanya ditangkap oleh Bareskrim Polri, dan James ditahan di Jakarta sejak 15 Agustus 2024.


Kasus ini terkait sengketa lahan di Jalan Siradj Salman, yang melibatkan James sebagai pengacara Olan dalam perkara tanah melawan seorang pelapor bernama Fazri.


Dugaan Pelanggaran ITE dan Kasus Sengketa Lahan Dalam dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim, Farakhan, disebutkan bahwa kasus ini bermula ketika Olan mengunggah beberapa tulisan dan dokumen terkait kasus sengketa lahan di akun Facebook pribadinya.


Olan memposting komentar mengenai eksekusi lahan yang disebutnya tidak adil, dan menyampaikan bahwa tindakan eksekusi tersebut merugikan masyarakat dan fasilitas umum.


Salah satu unggahan Olan pada Desember 2022 berisi kritik terhadap proses eksekusi lahan.


Dalam unggahan tersebut, ia menyebut bahwa eksekusi tidak hanya merugikan pemilik lahan, tetapi juga masyarakat yang terkena dampak.


Dalam unggahannya, Olan menyatakan, “Gajah bertarung gajah, pelanduk mati di tengah,” dan menambahkan bahwa proses eksekusi seolah mengabaikan kepentingan masyarakat sekitar.


Selain itu, Olan juga mengunggah salinan surat P-16 dari Kejati Kaltim, yang seharusnya bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan internal. Di dalam surat tersebut, Fazri dan beberapa rekannya disebut sebagai tersangka.


Akibat unggahan ini, Fazri merasa dirugikan karena nama baiknya tercemar, dan rencana kerja samanya dalam usaha pengadaan kain batal setelah rekan bisnisnya mengetahui status “tersangka” di surat yang diunggah Olan.


Rekan Fazri lainnya, Adi Surahman, juga merasa dirugikan karena namanya tercantum dalam surat P-16 yang diunggah.


Penyebaran surat internal ini, menurut JPU, terjadi karena James sebagai pengacara mengirimkan surat tersebut kepada Olan, meskipun ia seharusnya memahami bahwa dokumen tersebut tidak untuk disebarluaskan. (*)

Berita terkait